Jiwa Merindu (Sebuah Pengantar)

Bila dua hati telah saling jatuh cinta dan dipisahkan oleh jarak, apa yang dirasakannya? Rindu. Ya, kerinduan ini harus tetap dijaga, jangan sampai berkurang, atau bahkan hilang bersamaan dengan bergulirnya waktu, agar kelak ketika bertemu cinta tetap bergelora.

Seorang pencinta biasanya menjaga kerinduannya, bahkan bergemuruh seperti gelombang. Sebagaimana puisi berikut ini, inikah gelombang memenuhi dada/ menerjangku yang rindu tiada tara/ kekasih, duhai, kapankah berjumpa (Kekasih, Duhai). Sungguh, perjumpaan adalah tujuan yang ingin dicapai agar kerinduan terobati.

Demikian pula dengan kehidupan secara umum di dunia ini. Agar seseorang dapat hidup dengan baik semestinya mempunyai tujuan. Hidup tanpa tujuan ibarat orang berjalan tanpa arah; tak bergerak dengan dinamis, menjalani waktu terasa sia-sia. Dengan tujuan hidup, menjalani hari-hari terasa lebih bermakna.

Agar seseorang dalam menempuh jarak dengan tujuannya dapat tercapai dengan baik, seseorang harus menjaga kerinduannya agar dapat bertemu dengan tujuan. Sebab, di jalanan siang dan malam, tak jarang seseorang bertemu dengan rayuan yang menggoda, atau bahkan menjebak, agar seseorang lalai akan tujuannya hidupnya.

Maka, tidak ada salahnya seseorang untuk belajar kepada gelombang agar senantiasa bergulung dalam rangka mencapai tujuannya. Aku memilih belajar pada gelombang/ saat kedamaian telaga menyeretku/ pada tangis oleh luka masa lalu// dengan gelombang sukma ini bergelora/ menari riang tak pandang cuaca/ melesatkan doa semenjak dari muara (Belajar pada Gelombang).

Mengapa mesti kepada gelombang? Ini adalah penggambaran semangat agar senantiasa bergelora. Apalagi hidup di zaman modern yang penuh dengan banyaknya pilihan sekaligus persaingan seperti ini, sungguh semangat adalah detak jantung agar seseorang bisa cerdas dan kompetitif dalam mengukir prestasi sekaligus mencapai tujuan.

Sungguh, kerinduan agar seseorang bertemu atau meraih tujuannya itu harus senantiasa diperjuangkan. Meskipun harus berlari di atas pematang licin berbatu, sebagaimana sajak berikut, sepotong rindu ini seutuhnya untukmu/ meski rayuan lembut di jalanan merebutnya/ aku berlari di atas pematang licin berbatu/ ingin segera menghapus air matamu, segera (Kembali Rindu Pulang).

Tujuan hidup yang sebagaimana telah kita uraikan di atas adalah tujuan hidup di dunia. Lalu, bagaimana dengan tujuan hidup setelah hidup ini telah tiada? Harus diakui, percaya atau tidak, semua yang hidup di dunia ini akan mati. Pertanyaannya adalah bagaimana keadaan seseorang setelah mati?

Sebagai orang yang beragama, kita mengakui bahwa kehidupan di dunia ini adalah sementara. Tetapi, meskipun sementara, harus tetap diperjuangkan agar seseorang dapat memakmurkan bumi dan tidak sia-sia hidup di dunia ini. Dan, kita juga mengakui bahwa akan ada kehidupan yang abadi setelah seseorang mengalami kematian.

Sebagai orang yang cerdas, sudah barang tentu kita juga harus memancangkan tujuan untuk kehidupan kita setelah mati. Pemancangan tujuan itu harus dilakukan semenjak hidup di dunia ini. Sebab, tidak jarang seseorang terlena dan melakukan apa saja tanpa mempedulikan kehidupan setelah mati. Barangkali orang yang demikian telah lalai bahwa kelak ia akan pulang ke rumah yang sesungguhnya di akhirat.

Apabila kita telah lalai dan kehilangan rindu untuk pulang, kehilangan rindu terhadap tujuan hidup kita setelah mati, sangatlah perlu kita merenung dan berbisik kepada jiwa kita, duhai jiwa yang sekian lama terlena/ bersaranglah, pulanglah, bersedekaplah/ senyampang rindu belum didendangkan/ oleh siapakah dengan air mata (Kembali Rindu Pulang). Ya, jangan sampai kelak kita menyesal sehingga bersedih berurai air mata.

Penyesalan pada saat napas di tenggorokan menjelang ajal, sungguh tiada berguna. Apalagi, menyesal setelah kematian. Kehidupan setelah mati adalah kehidupan memetik buah amal saat seseorang hidup di dunia. Oleh karena itu, kehidupan di dunia ini perlu diisi dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini, tidak ada salahnya kita perhatikan sajak utuh berikut ini:

Haruskah oleh kesementaraan kita menghunus belati/ betapa malu pada anak dan istri, juga sebagai manusia/ padahal jalanan panjang telah diputuskan istirahnya/ bukan soal ada saat menikam, ada saat minta ampunan/ tetapi kesungguhan menggenggam alamat pulang/ adalah pilihan yang mesti senantiasa didendangkan/ dengan lagu rindu, dan betapa indah bergandengan (Perkelahian Siang Hari).

Menempuh kehidupan di dunia ini sama dengan menempuh jalan pulang. Tua atau muda, miskin atau kaya, sakit atau sehat, seseorang bisa saja sudah habis waktunya hidup di dunia ini. Oleh karena itu, kapan pun seseorang harus siap saat malaikat pencabut nyawa menjemputnya. Jangan terpengaruh oleh apa pun, sehingga melupakan tujuan hidup setelah mati ini. Jiwa ini tak lagi lena, bukan soal usia/ melainkan rindu pada wangi bunga/ tak sanggup ditukar dengan segala (Akhirnya Sunyi Juga).

Demikianlah. Semoga kehidupan kita di dunia ini dapat kita jalani dengan baik dan dapat berjumpa dengan tujuan yang membahagiakan. Dan, semoga kehidupan kita kelak setelah kematian juga berjumpa dengan kebahagiaan yang sesungguhnya. Amin….

Yogyakarta, jiwa merindu,
Akhmad Muhaimin Azzet

2 Komentar

Filed under Jiwa Merindu

2 responses to “Jiwa Merindu (Sebuah Pengantar)

  1. sri budiarti

    wahai jiwa nan merindu…
    dikau bangunkan jua jiwaku dengan kelembutanmu,
    menggeliat, terpesona, dan akhirnya tersadar…betapa memang jiwa ini senantiasa merindu pada cinta yang seharusnya tak pernah lapuk, merindu pada kemana langkah ini akan berhenti pada satu tujuan.
    trims, pembelajaran yang indah dan manfaat.

    • Alhamdulillah…, terima kasih banyak, Bu, atas kunjungannya. Ya, betul, kerinduan pada alamat yang sesungguhnya harus tetap dijaga agar jiwa ini tak tersesat pada penyesalan yang panjang.

Tinggalkan Komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s