Pendidikan bukan semata memberikan banyak pelajaran kepada anak didik hingga ia menguasai banyak ilmu pengetahuan. Ibarat mengisi gelas kosong maka pendidikan bertugas mengisi air ilmu pengetahuan sehingga gelas itu penuh. Bila sudah penuh maka berhasillah pendidikan itu. Sungguh, pendidikan yang demikian bukanlah model pendidikan yang membebaskan.
Bila demikian yang terjadi, murid akan selalu menjadi objek sedangkan guru yang menjadi subjek. Murid tidak pernah ditanya apa yang dibutuhkan dan disenanginya, namun pendidikan terus memberikan apa saja yang dinilainya penting dibutuhkan oleh anak didik. Murid mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, harus menerima dan menjalani proses pendidikan yang diberikan oleh sang pendidik atau lembaga pendidikan yang diikutinya.
Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang diberikan kepada anak didik sesuai dengan perkembangan dan potensi yang dimiliki oleh anak didik agar tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang merdeka. Sungguh, hanya manusia merdeka yang bisa merasakan kebahagiaan dalam hidup. Inilah hal yang mendasar dalam pendidikan yang membebaskan. Bahasa ekstremnya, hasil dari pendidikan yang membebaskan lebih baik menjadi pekerja sederhana yang bahagia daripada sarjana yang selalu saja gelisah dalam hidupnya.
Dengan demikian, memerhatikan potensi yang dimiliki oleh anak didik adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan dalam pendidikan yang membebaskan. Di sinilah sesungguhnya dibutuhkan seorang pendidik yang jeli dan bisa membaca kebutuhan sekaligus potensi yang dimiliki oleh setiap anak didiknya. Dengan demikian, seorang pendidik bisa memberikan apa yang dibutuhkan oleh anak didik sesuai dengan apa yang dibutuhkannya. Sungguh, anak didik bukanlah robot-robot yang siap dijadikan apa saja setelah melalui proses pendidikan.
Pemahaman seperti tersebut di atas, sesungguhnya tidak hanya penting bagi para pendidik dan orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan. Akan tetapi, penting juga bagi setiap orangtua. Ada seorang anak yang sangat mencintai ilmu biologi ketika duduk di bangku SMA. Sang anak ingin melanjutkan kuliah pada jurusan dan fakultas yang sesuai dengan ilmu biologi. Namun, ayahnya yang seorang sarjana teknik bersikeras agar anaknya melanjutkan kuliah di fakultas teknik. Maka, sang anak yang tidak ingin dituduh sebagai anak yang durhaka kepada orangtua akhirnya hanya bisa menuruti keinginan sang ayah.
Pada saat kuliah, sang anak yang sesungguhnya tidak menyukai fakultas teknik, tidak bisa belajar dengan baik. Hal ini terjadi karena sang anak tidak mempunyai kecintaan dan semangat untuk belajar ilmu teknik. Bila sudah begini, siapakah sesungguhnya yang menjadi korban? Sekian tahun sang anak memaksakan diri mempelajari ilmu pengetahuan yang sesungguhnya ia sama sekali tidak menyukainya.
Setelah berjuang sekuat tenaga menyelesaikan kuliahnya di fakultas teknik, sang anak pun akhirnya lulus dengan nilai yang tidak begitu memuaskan. Sudah selesaikah penderitaan sang anak? Ternyata belum. Setelah lulus dari fakultas teknik, sang anak dipaksa oleh orangtuanya untuk bekerja di sebuah instansi di mana ayahnya bekerja di sana sebagai sarjana teknik. Lagi-lagi, sang anak yang sebelumnya sudah menyatakan ketidaksetujuannya dengan sang ayah hanya bisa menangis dan akhirnya menuruti kehendak sang ayah yang keras kepala. Jadilah sang anak bekerja di sebuah instansi yang sesungguhnya tidak sesuai dengan pilihan dan cita-citanya.
Pembaca yang budiman, kisah dari sang anak yang dipaksa ayahnya untuk kuliah dan bahkan untuk bekerja sesuai dengan kehendak orangtuanya di atas sama sekali bukan sekadar ilustrasi dari tulisan ini yang diangkat dari kisah rekaan. Sungguh, penulis mendapatkan cerita langsung dari sang anak tersebut yang kini telah bekerja di sebuah instansi, yang sekali lagi, di luar keinginannnya. Inilah yang penulis maksudkan jangan sampai terjadi dalam dunia pendidikan kita.
Orangtua memang mendapatkan amanat dari Tuhan untuk mendidik anaknya agar menjadi orang yang baik dan bertakwa kepada-Nya. Namun, bukan berarti bisa bertindak semena-mena sesuai dengan kehendaknya sendiri tanpa mendengar apa yang menjadi keinginan sang anak. Demikian pula dengan dunia pendidikan, yang dalam hal ini adalah pendidikan secara formal di sekolah. Lembaga pendidikan yang dipercaya oleh masyarakat ini hendaknya juga bisa menemukan apa yang menjadi keinginan dan cita-cita dari peserta didiknya sehingga dapat mengembangkan pendidikan yang diselenggarakannya dengan penuh semangat dan kegembiraan bersama anak didik.
Salam Pendidikan Indonesia,
Akhmad Muhaimin Azzet
Penjurusan di dunia pendidikan kita menurut saya terlambat. Kelas dua SMA baru diarahkan, itu terlalu tua. Menurut saya, usia 10-11 tahun sudah harus diarahkan mereka ke IPA, IPS atau seni. Usia 14 tahun, diarahkan lagi ke yang lebih spesifik dari sebelumnya. Jadi waktu kuliah, mereka ngambil major yang benar. Ndak perlu lagi ada MKDU di semester pertama, buang-buang waktu. 😀
Iya, usia sepuluh tahun sesungguhnya sudah mulai bisa memilih pelajaran apa yang disukainya sehingga mulai fokus. Makasih banyak ya….
Tugas pdidik agar anaknya mjd org yg bkarakter…dan percaya diri thd bakat dan minat yg anak tsb inginkan. Semua anak itu hebat!!! Setuju dg komen diatas, pjurusan dr usia yg lbh dini. Kita mbutuhkan para spesialis bukan generalis yg sdh tll byk.. Spesialis yg bs menelurkan ide inovatif dan kreatif dr anak2 bangsa.
Di sinilah sesungguhnya dibutuhkan pendidik yang bisa mengenali anak didiknya dengan baik ya, Mbak Eva Yulianti. Dengan demikian, karakter bisa dikembangkan dan spesialisasi tentu bisa lebih fokus. Makasih banyak ya, Mbak.
setuju pak, saya juga ga suka jika otak anak dijejali dg hal yg berlebih, takut tumpah malahan…
sebab, kecerdasan anak tidak melulu intelektua, ada juga kecerdasan emosional, ada pula kecerdasan spiritual, yang perlu juga dikembangkan…
makasih banyak ya….
setuju!!! serahkan pada anak untuk memilih bidang mana yang mereka suka dengan menarik komitmen mereka, bahwa mereka akan menjadi yang terbaik di tempatnya. 😀
salam kenal
dengan demikian, kita juga mendidikan anak-anak kita untuk menjadi orang yang bisa memutuskan sekaligus pelajarah untuk bertanggung jawab…
makasih banyak ya, salam kenal juga…
pendidikan tuk saat ini memang masih terlihat sedikit tak berkembang.entah sistem pembelajarannya atau manusia manusi itu sendiri yg belum ikhlas untuk mengerti arti pentingnya sebuah pendidikan…..hahahha…………blue sok tahu y kawan
salam hangat dari blue
memang demikian kok saudaraku blue, makasih banyak ya, telah berkunjung kemari….
menanti postingan baru.hehe
semangat
salam hangat dari blue
ohya, silakan Sobat…
jika tak ada halangan, insya Allah postingan baru di blog ini muncul setiap hari Senin dan Kamis.
Saya merasa, … kena deh…
Kayaknya saya kena dengan isi posting ini sebagai sosok sang anak…
Jika dalam acara sebuah televisi, kena deh, lalu dikasih uang ya Mas…
Makasih banyak atas kehadirannya ya, Mas, semoga anak-anak kita ke depan semakin lebih baik….
kalau menghadapi permasalahan demikian heran juga sebenarnya yg sekolah itu anaknya apa orangtuanya kok harus persis apa yg dimaui orang tua
Iya ya, Pak, yang sekolah anaknya, yang menjalani sekarang dan masa depan juga anaknya, tapi kok masih banyak orangtua yang menentukan semuanya harus sama dengan kehendak orangtuanya…. Alasannya sih demi yang terbaik buat anaknya. Demi yang terbaik buat abaknya kok tidak mau mendengar pendapat dan keinginan anaknya. Kan aneh?
Yang saya heran, betapa baik anak tersebut. Bukankah setelah lulus kuliah, dia bisa memberikan keyakinan kepada ayahnya untuk bekerja sesuai yang dipilihnya? Atau memang dia tak mampu memberi keyakinan tsb, atau memang hanya diterima di perusahaan di tempat bapaknya bekerja? Kalau begitu harus disyukuri, karena banyak perusahaan mengetrapkan aturan, tak boleh ada hubungan orangtua dan anak dalam satu perusahaan.
Bila dilihat dari sisi anaknya, memang anak tersebut termasuk anak yang baik, Bu Ratna, dalam arti tidak menentang keinginan orangtunya. Namun, di sisi yang lain, sesungguhnya orangtuanya (dalam hal ini ayahnya), memang termasuk tipe yang, maaf, otoriter. Tapi, semoga anak yang baik tersebut kini bahagia dalam hidupnya.
Makasih ya, Bu Ratna, telah singgah kemari.
Dua hal yang saya petik dari posting pak Akhmad, yaitu pendidikan yang membebaskan dan pendidikan berorientasi kepada siswa. Guru/orang tua harusnya mengerti tentang apa yang diinginkan anaknya (senang belajar apa, mau sekolah dimana, mau jadi, pilih jurusan apa, dsb) tapi bukan sebaliknya.
Didiklah anak kita sesuai zamannya, bukan seperti zaman kita (Zaman Jahiliyah ^—^).
Benar sekali, Pak Nurdi, pendidikan semestinya membebaskan, bukan malah membelenggu. Maka, pendidikan yang berorientasi kepada siswa adalah hal yang semestinya dilakukan.
Makasih banyak ya, Pak Nurdin, dan salam blogger persahabatan.
subhanallah…
pendidikan…
susah saya ngomongnya apalagi nulisnya… pasti panjang..
cukup komentar pendek..
pendidikan yag baik adalah pendidikan yg cukup dgn asupan gizi.. hehe
hehehe, meski pendek, komentar ini bermakna dalam, betapa asupan ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses belajar mengajar; makasih banyak ya….
kata-katanya annur di atas itu “bersayap” lho masbro
kalo dalam “ngelmu” politik, “gizi” itu adalah duit
bener opo bener?
😆
hehehe…, itulah kenapa saya bilang “komentar ini bermakna dalam”
dalam “ngelmu” agama, asupan gizi itu bermakna “halal atau haram makanan seorang murid sangat berpengaruh dalam proses pendidikan”
bener opo bener?
🙂
Sebenarnya saya sepakat dan sepaham, Mas dengan pemikirannya.
Tapi kalau saya lihat dari yang saya alami, saya malah nyesal dulu gak ikut pilihan (baca: saran) orangtua dan terus mengikuti kehendak sendiri hehe 😀
Begitu ya, Mas. Kalo begitu, semoga penyesalan itu selanjutnya membuahkan hasil yang baik untuk kehidupan Mas Elfarizi ke depannya lagi. Makasih banyak ya, Mas.
hem
dan orangtua pun harus belajar dari kata2 sang ali
didiklah anakmu sesuai zamannya bukan zamanmu
dan untuk yang mau jadi orang tua pun sama 🙂
Benar sekali, Sobat, orangtua dan anak tentu hidup pada zaman yang berbeda pada kehidupannya nanti. Terima kasih banyak ya Mas, telah berkenan singgah dan berkomentar di sini.
sama sama 🙂
jadi intinya kita ga boleh memaksa seorang anak melakukan apa yg kita harapkan namun kita harus pandai menyeleksi bakat yg ada pada anak,…..
Iya, tentu orangtua tidak boleh memaksa. Namun, jika memberikan bimbingan dan pengarahan, tentu ini adalah kewajiban dari orantua. Berikutnya, orangtua semestinya juga harus memahami kebutuhan dan hal yang menjadi kecederungan sang anak.
Saya juga mengalami hal yang dicontohkan di atas. Karena Ayahanda telah berpulang ke Rahmatullah saat itu, dengan perasaan tidak menentu harus mengikuti kehendak paman yang menginginkan saya masuk ke Fakultas Teknik, tanpa minat mendaftar dan akhirnya diterima di Jurusan Teknik Kimia.
Menyesal. Pasti. Terutama 2 tahun di awal. Akhirnya saya memutuskan berdamai dengan keadaan, berhenti melawan diri sendiri dan pasrah menerima.
Tapi kalau bukan karna perjalanan hidup penuh rasa “tidak terima” saya tidak akan bisa belajar “menerima”.
Pada akhirnya dengan berbagai hal yang mungkin tidak sesuai harapan saya dan terjadi menjadi bahan pembelajaran saya untuk hidup lebih baik kedepannya.
Benar sekali, Mbak Citra Taslim, dari sisi si anak, tidak “menerima” itu wajar jika dalam kondisi dipaksa. Sama dengan yang saya ceritakan di atas, sang anak juga dipaksa memasuki fakultas teknik, cuma bedanya di teknik sipil. Padahal, ia suka sekali dengan biologi. Namun, “belajar menerima”, tentu adalah hal yang perlu dilakukan. Sebab, di sinilah sesungguhnya kunci kebahagiaan bagi setiap kita yang mengalami sebuah keadaan yang di luar kehendak kita secara wajar sebagai manusia. Dengan belajar menerima, insya Allah kehidupan kan merambat menuju bahagia.
Dengan belajar menerima, insya Allah kehidupan kan merambat menuju bahagia.
Saya sepakat dengan hal ini pak Ustadz.
Saya merasa rasa tidak terima itu justru mulai berubah jadi rasa dendam pada keadaan. Saat saya menyimpan dendam maka bibit kebaikan di hati saya akan mati.
Saya menangisi hal itu berkali-kali. Belum jadi orang baik, dengan mendendam justru sekaligus membunuh bibit-bibit kebaikan di dalam diri.
Tapi Tuhan itu rupanya maha pemurah, saat meminta akhirnya hadir juga rasa menerima.
Sekaligus pelajaran, membiarkan diri belajar dari kesalahan, keterpurukan, atau tidak terima untuk tidak mengulanginya ketika saya diberikan kesempatan untuk mengasuh anak nanti.
bagus artikelnya…makasih ya udah share…
Terima kasih banyak ya, juga atas kunjungannya….
Subhanallah…. alangkah indahnya apabila setiap orang tua bisa mengarahkan anaknya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, insyaAllah dinegeri ini akan muncul pribadi-pribadi yang unggul dan menjadikan bangsa ini adalah bangsa yang besar, sungguh ini adalah pelajaran yang sangat berharga buat kami yang belajar untuk menjadi orang tua yang baik… 🙂
Alhamdulillah…
Terima kasih banyak, Mas Abufahry’s, sesungguhnya saya juga masih belajar tentang hal ini. Semoga bermanfaat bagi kita bersama ya…