Zaman terus saja berputar. Konon, kini manusia telah memasuki peradaban modern yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi serta kemajuan industri untuk memenuhi segala kebutuhan manusia.
Menghadapi zaman yang seperti ini, kebutuhan-kebutuhan manusia yang dahulu bisa dibilang sederhana saja, seperti sekadar makan, tempat tinggal, pakaian, atau kendaraan, kini detailnya menjadi bermacam-macam dan rumit.
Manusia semakin dimudahkan dengan berbagai kecanggihan yang pada zaman dahulu tak pernah terbayangkan, namun juga dihadapkan pada banyak masalah yang tidak ringan.
Salah satu masalah penting yang dihadapi manusia adalah terjauhkannya dari aspek kemanusiaannya tatkala terlalu jauh masuk dalam kepentingan kapitalisme modern. Belum lagi adanya dominasi kekuatan besar yang ingin menguasai manusia pada umumnya untuk kepentingan kekuasaan ekonomi, politik, atau bahkan ideologi tertentu.
Pada saat seperti ini, peran pendidikan diyakini penting untuk menjaga hakikat kemanusiaan agar tiada tergerus begitu saja atau membawa kembali kemanusiaan pada wilayah yang sesuai dengan fitrahnya. Jangan sampai kehidupan yang dianggap canggih justru membuat manusia kehilangan kebebasannya karena manusia telah diperlakukan dengan tidak adil sebagai sesama manusia oleh pihak yang lebih berkuasa.
Dalam sebuah bukunya yang berjudul Pendidikan Populer; Membangun Kesadaran Kritis, Mansour Fakih berpendapat bahwa tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan ideologi dominan yang tengah berlaku di masyarakat, serta menantang sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu kehidupan masyarakat yang adil.
Tugas yang penting ini dimanifestasikan dalam bentuk kemampuan menciptakan ruang agar muncul sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan sosial, serta melakukan dekonstruksi terhadap diskursus yang dominan dan tidak adil menuju sistem sosial yang lebih adil.
Namun, sayang sekali, pendidikan yang dianggap sebagai wahana penting untuk menjaga hakikat dari kemanusiaan ini justru menjadi mesin industri bagi kepentingan pasar.
Pendidikan dalam banyak sisi justru melakukan proses peminggiran rasa kemanusiaan karena peserta didik diposisikan sebagai objek yang dikerahkan oleh perangkat pendidikan untuk dijadikan manusia-manusia yang siap pakai di dunia industri dan pasar global. Siap pakai yang dimaksudkan di sini tak ubahnya sebagai mekanik yang sesuai dengan keinginan pasar dan industri.
Bila sudah begini, peserta didik akan berlaku tak ubah seperti robot-robot yang sudah tentu semakin terjauh dari kemanusiaannya. Inilah sebuah proses pembelajaran yang berorientasi pada pendidikan mekanistis-materialistis.
Proses pembelajaran yang sudah terpola untuk berorientasi pada pendidikan mekanistis-materialistis sesungguhnya akan sulit untuk mengarahkan pembentukan karakter pada diri anak didik yang kritis dalam menghadapi persoalan kehidupan.
Hasil dari pendidikan seperti ini juga akan sulit untuk mempunyai kepekaan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Padahal, mempunyai jiwa yang kritis dan peka terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat adalah manifestasi dari sebuah pribadi yang tercerahkan dan cerdas.
Bila keadaan pendidikan sudah seperti ini, tentu peran pendidikan bukan mencerahkan manusia dan kembali kepada hakikat kemanusiaannya, melainkan justru membawanya menjauhi hakikat kemanusiaan.
Semoga pendidikan yang demikian tidak terjadi di negeri tercinta ini. Atau, memang sudah terjadi?
Salam Pendidikan Indonesia,
Akhmad Muhaimin Azzet
Nahkan tidak sedikit pendidikan yang dijadikan ladang bisnis ustadz
Iya, Mas Edi Padmono, bila sudah demikian betapa pendidikan menjadi begitu mahal. Menyedihkannya, ada yang memahami bahwa semakin mahal biaya pendidikan akan semakin bermutu pendidikan yang akan didapatkannya.
Betul pak mendidik itu bukan sekedar membuat jadi mengetahui saja tapi juga mengerti lalu memahami dan kemudian mengamalkannya di jalan kebajikan
Saya sangat setuju dengan yang Mbak Ade Anita sampaikan, demikianlah proses pendidikan yang sesungguhnya itu. Makasih banyak ya, Mbak.
Betul juga ya Pak Ustadz kalau pendidikan sekarang tak ubahnya mesin industri. Lama jelamaan kalau kondisi ini terus berlangsung ya industrialisasi dan kapitalisme yang berlangsung ya Pak..
Itulah hal yang saya khawatirkan, Mas Dani. Bila proses pendidikan telah tercerabut dari hakikat kemanusiaan maka ke mana arahnya yang miris telah terbaca dengan jelas. Makasih ya, Mas, telah singgah kemari.
PR besar buat para pendidik dan perangkat pendidikan lainnya, bagaimana orientasi pendidikan supaya tidak keluar jalur dari yang semestinya
Iya, benar sekali, Mbak Dina, ini PR besar yang mesti segera dikerjakan. Makasih telah singgah kemari ya, Mbak.
Sebelum mendidik, pendidik harus digurukan dulu ya Pak. Digurukan maksudnya jadi pendidik yang peka, tak hanya berfungsi sebagai mesin penyampai ilmu, melainkan agen yg bisa menumbuhkan kesadaran agar murud2nya jadi manusia yg lebih baik dari hari ke hari…
Setuju sekali, Bu Evi, betapa ilmu keguruan itu penting sekali sebelum menjadi guru, di samping terus mengasah semangat dan kecintaan terhadap dunia pendidikan itu sendiri.
aamiin pak akhmad… saya sebagai generasi yg pendidikan dijadikan mesin merasa sangat tersesat jauhd ketika setan sudah menyesatkan semoga para pendidik benar-benar ikhlas dalam mendidik dan mengarahkan pada jalan yg lurus….
Nah, keikhlasan dalam mendidik itu betapa penting ya, Mas Angki. Semoga kita bertemu dengan guru-guru yang demikian, meski kita kita sudah tidak duduk di bangku sekolah secara formal.
antisipasi hal yang negatif menjadi sebuah kewajiban, menghadapai era pendidikan abad modern, betul ustadz?
Betul sekali, Kangmas Mawardi, dengan mengantisipasi hal yang negatif semoga pendidikan untuk anak bangsa ini semakin baik di era mendatang.
Sepertinya sudah terjadi Pak. Sering juga saya baca kalau sekolah dengan metode yang salah justru mematikan kemanusiaan dengan segala kreatifitasnya 😦
Nah, bila demikian tentu memprihatinkan, Mbak Tiara. Semoga ini menjadi kesadaran kita bersama untuk memperbaikan pendidikan di Nusantara ini.
Artikel yang sangat menginspirasi dan informativ,
zaman sekarang kebanyakan pendidikan lebih condong untuk bisnis beda sama zaman dulu, kualitas ilmu benar benar ada.
Terima kasih banyak ya, Mas Ridho, sungguh inilah yang menjadi keprihatinan kita bersama. Semoga muncul pejuang-pejuan pendidikan di negeri tercinta ini.
Assalaamu’alaikum wr.wb, mas Amazzet…
Ternyata semakin moden dunia manus semakin rakus dalam mengejar kemewahan dan kebendaan. Malahkan dunia pendidikan semakin rencam dengan kepentingan duniawi daripada ukhrwawi.
Akhlak sudah dipandang remeh dan tidak bernilai. Yang mahu dicari adalah kejayaan akademik yang dianggap dapat memajukan kesenangan hidup manusia. Maka, akhlak sudah tidak menjadi perhatian untuk memurnikan hidup beragama.
Akibatnya, lahirlah manusia yang memimpim masa depan penuh dengan kerakusan dan ketamakan harta benda. Manusia hidup penuh kelalaian dan meninggalkan akhirat yang abadi.
Salam sejahtera dari Sarikei, Sraawak.
Wa’alaikumusalam wr.wb.
Apa yang Mbak Fatimah tulis itu sesungguhnya menjadi di antara latar belakang kenapa tulisan ini dibuat. Betapa tidak sedikit orang-orang yang bergerak di bidang justru membawanya roda pendidikan ini untuk kepentingan-kepentingan di luar meningkatkan harkat kemanusiaan itu sendiri.
Semoga di tengah keprihatinan ini bermunculan para pejuang pendidikan yang ikhlas terus bergerak mendidik anak bangsa agar semakin cerdas sekaligus mulia akhlaknya. Aamiin ya Allaah…
Salam hangat persaudaraan dari Jogja, Indonesia.
kadang yang punya yayasan menjadikan pendidika sebagai lahan bisnis 😦
Nah, inilah hal yang sungguh memprihatinkan. Semacam muncul “kesadaran” baru bahwa dunia pendidikan merupakan lahan bisnis yang menggiurkan.