SALAH SATU ANUGERAH yang sangat luar biasa dari Tuhan kepada manusia adalah kecerdasan. Anugerah ini diberikan dengan cuma-cuma alias gratis agar manusia dapat menjadi wakil-Nya atau khalifah di muka bumi, sehingga dapat mengelola kehidupan dengan baik.
Setiap anak manusia yang dilahirkan ke dunia ini sudah dibekali dengan satu triliun sel neuron yang terdiri dari seratus miliar sel aktif dan sembilan ratus miliar sel pendukung yang kesemuanya berkumpul di otak. Setiap satu sel neuron memiliki kemungkinan membentuk seratus ribu sambungan kompleks antarsel neuron yang bekerja mengolah informasi secara random. Kalau digunakan, setiap sel bisa berkoneksi dengan dua puluh ribu sel lainnya. Otak yang demikian canggih ini, sudah barang tentu, mempunyai kapasitas memori yang luar biasa. Menurut para ahli, otak manusia sanggup menyimpan ingatan secara conscious (ingatan di luar kepala) ekuivalen dengan lima ratus ensiklopedia besar.
Berdasarkan potensi kecerdasan sebagaimana yang disebutkan di atas, setiap manusia sesungguhnya berpotensi untuk menjadi manusia yang genius. Namun, sayang sekali, kapasitas otak yang dipergunakan oleh manusia pada umumnya hanya dipakai kurang dari satu persen. Padahal, kalau manusia mau memakai otaknya sampai delapan persen saja, maka ia akan menjadi manusia genius seperti Enstein.
Tanggung Jawab Orangtua
Sebagai orangtua yang sangat mencintai anak-anak, sudah barang tentu mempunyai tanggung jawab yang besar sekaligus mulia untuk bisa mengembangkan kecerdasan pada anak-anaknya yang sudah dianugerahkan oleh Tuhan. Jangan sampai anugerah yang luar biasa dahsyat ini kita biarkan begitu saja. Alangkah disayangkan bila hal ini terjadi; berarti kita menjadi hamba yang tidak bisa berterima kasih kepada-Nya karena sudah diberi anugerah, tetapi tidak dikembangkan dengan baik.
Di sinilah perlunya setiap orangtua untuk memerhatikan hal ini. Termasuk memerhatikan tindakan yang ternyata bukannya mengembangkan kecerdasan sang anak, tetapi malah menghambatnya. Misalnya, ketika mendapati anaknya mencoret-coret dinding ruang tamu, orangtua langsung marah, “Hah, kamu ini bagaimana? Tidak boleh mencoret-coret dinding ruang tamu. Kotor tahu! Coba kalau ada tamu, kita akan malu!”
Pada saat orangtua membentak atau memarahi anaknya agar tidak mencoret-coret dinding ruang tamu lagi sesungguhnya pada saat yang sama orangtua telah menghambat salah satu kecerdasan kreatif sang anak. Padahal, tugas dan tanggung jawab orangtua adalah mengembangkan kecerdasan anak; dalam contoh kasus ini yang dilakukan orangtua malah menghambat kecerdasan sang anak. Sungguh, mengenai hal ini perlu dicermati karena tidak sedikit orangtua yang tidak sadar ketika melakukan tindakan serupa ternyata justru menghambat kecerdasan sang anak.
Lantas, apabila mendapati anak-anak mencoret-coret dinding ruang tamu apakah dibiarkan saja?
Barangkali takut menghambat kecerdasan sang anak, atau barangkali salah memahami dan menerapkan ajaran bahwa orangtua jangan sampai berkata “jangan” atau melarang anak, penulis sering mendapati beberapa rumah sahabat penulis penuh dengan coretan anaknya, termasuk dinding ruang tamu. Jujur saja, penulis menilai, yang demikian juga bukan merupakan cara yang tepat.
Ada sebuah cara yang menurut penulis sangat tepat, yakni disampaikan oleh Seto Mulyadi—biasa dipanggil Kak Seto—dalam sebuah perbincangan “Mendidik Anak” di Metro TV (10/4/2010). Mendapati anak mencoret-coret dinding ruang tamu, menurut Kak Seto, orangtua semestinya tetap memberikan apresiasi positif terhadap kecerdasan kreatif anaknya, misalnya dengan mengatakan, “Wah, bagus sekali gambarnya. Tapi, ini di ruang tamu, bagaimana kalau nanti ada tamu dan mendapati dinding rumah kita nanti dikira kotor. Ayo, setelah ini kita lanjut bikin coret-coret di garasi saja.”
Ternyata, sang anak yang mencoret-coret dinding ruang tamu tidak dilarang, apalagi dimarahi, tetapi justru diberikan pujian bahwa gambarnya bagus. Namun, pada saat yang sama orangtua memberikan pengertian bahwa ruang tamu tidak boleh dicoret-coret sembarangan agar tetap bersih dan indah. Selanjutnya, orangtua tetap mengembangkan kecerdasan kreatif sang anak dengan memberikan garasi sebagai tempat untuk dicoret-coret. Bila dinding garasi sudah penuh dengan coretan kreatif anak kita, menurut Kak Seto, orangtua perlu mengajak anaknya untuk membuat kegembiraan baru, yakni bersama-sama mengecat dinding garasi dengan cat yang baru dan lebih menarik lagi.
Anak-anak mencoret-coret dinding sebagaimana di atas hanyalah sekadar contoh bagaimana orangtua bisa mengembangkan kecerdasan anaknya dengan cara yang baik dan tepat atau justru malah menghambatnya.
Anak Banyak Bertanya
Sebuah contoh lagi yang sering tidak disadari oleh banyak orangtua, yakni ketika anaknya banyak bertanya mengenai ini dan itu, orangtua malah memangkasnya dengan ucapan, “Sudah ya, jangan banyak bertanya. Mama capek menjawab!”
Sungguh, penulis sering mendengar jawaban yang seperti tersebut dari para orangtua. Semestinya orangtua bangga dan dengan senang hati melayani pertanyaan demi pertanyaan anaknya karena hal ini sangat penting dalam mengembangkan kecerdasan sang anak.
Dengan demikian, kecerdasan yang merupakan anugerah dari Tuhan yang luar biasa kepada anak dapat dikembangkan dengan baik oleh orangtua. Ini adalah tanggung jawab yang mesti ditunaikan oleh setiap orangtua. Sebab, di samping anugerah, anak juga merupakan amanat yang diberikan oleh Tuhan kepada orantua. Sedangkan dalam setiap amanat ada pertanggungjawaban; demikian pula dengan setiap orangtua, kelak akan mempertanggungjawabkan di hadapan Tuhan bagaimana dalam mendidik anak-anaknya.
Lebih dari itu, memahami bahwa setiap anak manusia pasti dibekali kecerdasan oleh Tuhan ternyata bisa menumbuhkan rasa optimis bagi setiap orangtua. Dalam menghadapi kehidupan di zaman modern yang penuh dengan persaingan ini, tak jarang orangtua dihinggapi kekhawatiran yang berlebihan akan masa depan anak-anaknya. Di sinilah orangtua bisa bersemangat untuk bisa mengembangkan kecerdasan anaknya dengan baik agar kelak para generasi penerus itu dapat menaklukkan tantangan zamannya yang barangkali jauh lebih kompleks permasalahannya.
Salam dari Jogja,
Akhmad Muhaimin Azzet