Siang yang Panas, Tahun Politik, dan Es Teh

Foto ilustrasi, penulis (batik hijau) bersama Romo KH. Asyhari Abta, Prof. Dr. Rochmat Wahab, dan para santri lainnya di PP Tegalsari.

Siang terasa panas. Hari ini, saya jadwal khutbah Jum’ah di masjid kampus Amikom, Yogyakarta. Materinya saya ajak jamaah untuk adem. Di tahun politik ini, jangan saling olok. Kita dukung capres-cawapres kita tanpa perlu menjelekkan capres-cawapres lainnya. Sesuatu yang baik, perlu diupayakan dengan cara yang baik. Sehingga, semoga baik untuk kita, baik untuk persaudaraan kita, baik pula untuk negeri kita tercinta.

Usai khutbah, di sepanjang pinggir jalan menuju pulang saya lihat banyak penjual es teh di kios-kios menemukan momentumnya: siang yang panas. Saya perhatikan, dari kampus Amikom sampai Purwo, semuanya antri pembeli.

Intinya, secara fitrah, tentunya kita senang pada yang damai, adem. Di grup-grup WA tak usahlah kita merusak kenyamanan hubungan di antara kita dengan merendahkan yang bukan pilihan kita. Saat panas begini, menyeruput es teh, atau minuman lain sesuai selera, seger tentunya.

Salam dari Jogja,
Akhmad Muhaimin Azzet

Tinggalkan komentar

Filed under Cerita Ringan

Pendidikan yang Membebaskan; Pendidikan Kritis Gagasan Freire

Penulis ketika diminta menjadi narasumber di SD IDEA Baru Yogyakarta.

Pemikiran Paulo Freire yang paling getol diperjuangkan adalah pendidikan yang membebaskan dalam arti anti-kolonialis. Pendidikan harus menjadi cara untuk membebaskan peserta didik dari segala macam bentuh penjajahan; apalagi penjajahan dalam arti sebenarnya. Inilah yang menjadikan gagasan Freire sering berhadapan dengan penguasa atau negara yang sedang melakukan kolonialisme. Freire menganggap penting untuk memberikan pendidikan kepada penduduk pribumi dengan pendidikan yang baru, modern, dan anti-kolonial. Dengan demikian, peserta didik adalah manusia yang setara dengan manusia yang lainnya.

Gamblangnya apa yang dilakukan oleh Freire adalah pendidikan penyadaran dalam diri peserta didik menuju pemanusiaan yang sebenarnya. Pendidikan yang semacam ini adalah hak bagi setiap anak manusia tanpa kecuali. Tidak ada manusia yang lebih layak untuk mendapatkan pendidikan sedangkan yang lain sengaja dijauhkan dari pendidikan karena dipandang perlu untuk menjadi kaum yang dipekerjakan. Sungguh, setiap manusia mempunyai hak yang sama dalam pendidikan. Dengan demikian, proses pendidikan yang dilakukan pun harus setara antara satu dan yang lain; dan proses yang dibangun dalam pendidikan pun adalah penyadaran untuk setara dengan yang lainnya.

Berangkat dari sebuah gagasan bahwa pendidikan adalah upaya pembebasan manusia dari kolonialisme maka praktik pendidikan yang membebaskan tidak menempatkan guru pada posisi nomor satu dan murid pada nomor dua; guru adalah pihak yang memberi dan murid adalah pihak yang menerima. Akan tetapi, lebih ditekankan pada proses tanya jawab dan berdiskusi. Jika seorang guru memberikan pelajaran kepada anak didik ini sesungguhnya tak lebih dari proses berbagi kepada sesama anak manusia perihal ilmu dan pengetahuan.

Dalam praktiknya, pendidikan yang membebaskan gagasan Freire ini memang ditujukan kepada kaum yang tertindas. Akan tetapi, tidak menempatkan kaum yang tertindas itu berhadapan secara berseberangan dengan orang-orang yang menindas. Pendidikan yang semacam ini akan menimbulkan dendam untuk suatu saat ganti menindas. Pendidikan yang membebaskan juga bukan merupakan bentuk kemurahan atau kebaikan orang-orang yang mendindas dalam memberikan pendidikan kepada orang yang ditindas, apalagi bila dilakukan untuk mempertahankan status quo melalui penciptaan dan legitimasi kesenjangan. Pendidikan yang membebaskan sesungguhnya merupakan penyadaran tentang kemanusiaan yang bukan dari kaum penindas, melainkan dari diri sendiri. Kesadaran ini sudah tentu bukan untuk menjelmakan para penindas baru, melainkan ikut membebaskan kaum penindas itu sendiri. Dengan demikian, kehidupan akan berjalan dalam kesetaraan yang mendamaikan.

Pendidikan yang membebaskan gagasan Freire ini memang tak lepas dari keadaan sosial pada waktu itu. Itulah mengapa gagasan Freire ini sering disebut oleh para ahli di bidang pendidikan sebagai pendidikan kritis karena pendidikan yang membebaskan merupakan suatu bentuk kritisme sosial. Mengenai hal ini pun diakui juga oleh Freire bahwa pendidikan adalah momen kesadaran kritis manusia terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.

Salam dari Jogja,
Akhmad Muhaimin Azzet

Tinggalkan komentar

Filed under Pendidikan

Memahami Potensi Anak; Hakikat Diciptakannya Manusia (Bagian 2)

Penulis, bersama Kak Fatih dan De’ Una, ketika mengisi pengajian di Masjid Baitul Amin.

Mengembangkan kesadaran sebagaimana tersebut (link hidup) bisa kita mulai dari bagaimana cara kita dalam membimbing dan mendidik anak-anak kita. Kita sadar dan mengetahui bahwa anak-anak yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada kita sudah dibekali dengan potensi-potensi yang sangat penting untuk dikembangkan demi kesuksesan kehidupannya di masa mendatang. Potensi yang diberikan Tuhan itu tidak bisa kita biarkan begitu saja agar sang anak berkembang dengan sendirinya. Atau, kita biarkan saja potensi yang dahsyat itu sehingga tidak berkembang dan akhirnya malah berakibat menjadi tidak berguna sama sekali bagi kehidupan anak kita.

Di sinilah sesungguhnya dirasa perlu adanya pengasuhan dan pendidikan bagi anak-anak kita. Di sinilah sesungguhnya dibutuhkan perhatian yang sungguh-sungguh bagi orangtua untuk bisa memberikan asuhan dan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Asuhan dan pendidikan yang baik sudah barang tentu tidak hanya di sekolah, tetapi juga dalam lingkungan keluarga. Di sinilah sesungguhnya juga perlu ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan keluarga. Keseimbangan dalam arti pengembangan kecerdasan dan penerapan nilai yang diterapkan di sekolah berbanding lurus dengan pendidikan yang dibangun dalam keluarga. Bukan tidak sesuai atau malah bertentangan; setidaknya bisa saling mengisi.

Di sekolah, misalnya, kecerdasan intelektual anak dikembangkan dengan memberikan tugas rumah agar anak lebih mengasah pengetahuannya; di rumah pun keluarga mendukung dengan memberikan suasana yang nyaman ketika jam belajar atau mendampingi sang anak mengerjakan pekerjaan rumah, bukan malah memutar televisi keras-keras atau hanya menunjukkan rasa marah ketika sang anak tidak bisa menyelesikan tugasnya. Di sekolah, misalnya, kecerdasan emosional dan sosial anak dikembangkan dengan cara berempati kepada temannya yang sedang susah dan memberikan bantuan; di rumah pun orangtua bisa mengajari hal yang sama, bukan malah menyuruh sang anak segera menutup pintu rapat-rapat ketika diketahui ada orang yang datang meminta sumbangan untuk pembangunan tempat ibadah atau untuk panti asuhan yatim piatu. Di sekolah, misalnya, kecerdasan spiritual anak dikembangkan dengan kesadaran sekaligus menunjukkan perilaku taat kepada Tuhan; di rumah pun semestinya orangtua melakukan hal yang sama, bukan hanya menyuruh anak untuk melakukan kewajiban kepada Tuhan, tetapi orangtua tidak memberikan teladan yang baik.

Oleh karena itu, peran orangtua memang tidak bisa dipandang ringan atau kecil dalam memberikan asuhan dan pendidikan bagi anak-anaknya agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Bukan hanya dipercayakan kepada sekolah yang favorit dan terbaik, tetapi di rumah pun perlu asuhan dan pendidikan yang baik. Di sekolah memang para guru bertanggung jawab mendidik anak-anak kita karena memang mendapatkan mandat dari kita selaku orangtua, namun ketika di rumah—dan hakikatnya—penanggung jawab bagi pendidikan anak-anak adalah kita, selaku orangtuanya. Sebab, yang mendapatkan amanat langsung dari Tuhan berkaitan dengan anak-anak adalah orangtuanya. Dengan demikian, hakikat diciptakannya manusia oleh Tuhan di muka bumi ini dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga dapat mengelola kehidupan ini dengan prestasi yang baik menuju kemakmuran dan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Salam dari Jogja,
Akhmad Muhaimin Azzet

Tinggalkan komentar

Filed under Pendidikan

Memahami Potensi Anak; Hakikat Diciptakannya Manusia (Bagian 1)

Penulis, Akhmad Muhaimin Azzet.

Manusia diciptakan oleh Tuhan untuk hidup dan mendiami sebuah planet yang bernama bumi ini, sudah barang tentu ada maksud dan tujuannya. Tidak diciptakan begitu saja, kemudian menjalani kehidupan di bumi ini, setelah itu mati dan selesai. Bila memang hanya hidup, setelah itu mati dan selesai, tentu manusia tidak berbeda dengan makhluk yang lain sebagaimana hewan, misalnya.

Namun, manusia diciptakan oleh Tuhan dengan bentuk yang sempurna bila dibanding dengan makhluk yang lain. Manusia juga dibekali akal agar dapat menjalani kehidupan dan mengelola bumi dengan lebih baik. Bekal terakhir inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, yakni manusia adalah makhluk hidup yang berakal.

Bila ditinjau dari ajaran Islam, setidaknya ada dua tujuan dari diciptakannya manusia di dunia ini, yakni sebagai abdi dan sebagai khalifah di muka bumi. Sebagai abdi, manusia berkewajiban untuk patuh dan taat kepada Tuhan yang menciptakannya; sedangkan sebagai khalifah, manusia berperan sebagai wakil Tuhan untuk bisa mengelola kehidupan di bumi ini dengan baik.

Termasuk salah satu peran manusia sebagai khalifah di bumi adalah mengembangkan potensi kecerdasan yang telah diberikan Tuhan agar dapat dikembangkan dengan baik. Ya, dikembangkan dengan baik; ini yang perlu digarisbawahi. Sebab, tidak jarang manusia mengembangkan segala potensi yang diberikan Tuhan kepadanya, namun digunakan untuk tujuan yang tidak baik. Sehingga, kerusakan alam terjadi di mana-mana. Dalam kenyataan ini, kita patut untuk prihatin dan mengelus dada. Betapa tidak, pembabatan hutan dengan membabi buta terjadi di mana-mana, membiarkan bekas penambangan dengan begitu saja hingga menyisakan tanah yang tandus dan kerontang, membuang limbah sembarangan hingga merusak ekosistem, terus-menerus mengeruk kekayaan alam sebanyak-banyaknya seakan tidak berpikir lagi untuk generasi mendatang akan diwarisi apa, dan masih banyak kerusakan lainnya yang diakibatkan oleh tangan-tangan manusia.

Kita sangat menyesalkan atas pengembangan potensi manusia yang tidak digunakan dalam kerangka kebaikan. Kita sungguh prihatin atas pengembangan potensi manusia yang digunakan semaunya untuk memenuhi segala hasrat yang bernama keserakahan. Alih-alih sebagai wakil Tuhan yang bertugas mengelola kehidupan di bumi sehingga berkembang penuh kebaikan dan kedamaian, tetapi justru manusia malah merusak kehidupan dan generasinya sendiri.

Sudah barang tentu, kita tidak setuju dengan model kehidupan yang dikembangkan oleh sebagian saudara kita sesama manusia yang justru merusak. Tidak hanya tidak setuju, kita pun semestinya melawan dengan menunjukkan sikap, setidaknya kita mulai dari diri kita sendiri dan keluarga. Marilah kita senantiasa mengembangkan kesadaran bahwa keberadaan kita di muka bumi ini, di samping sebagai hamba Tuhan, juga sebagai khalifah atau wakil-Nya. Sebagai wakil Tuhan, sudah barang tentu kita mempunyai tugas mulia untuk bisa mengembangkan segala potensi yang telah diberikan oleh-Nya secara maksimal agar kita bisa mengelola kehidupan ini dengan lebih baik.

Salam dari Jogja,
Akhmad Muhaimin Azzet

Tinggalkan komentar

Filed under Pendidikan

Mengatasi Anak yang Suka Meniru Perilaku Buruk

Penulis di sebuah kesempatan mengisi pengajian keluarga.

Ada seorang ibu yang kesal sekali kepada tetangga barunya. Pada sore hari, sepulang suaminya dari bekerja, ia menumpahkan kekesalannya di hadapan sang suami tercinta. Ia kesal karena tetangga barunya tidak mendidik anak-anaknya dengan baik, demikian menurut seorang ibu yang kesal tersebut. Betapa tidak, anak tetangga baru tersebut yang berusia dua tahun suka mendorong-dorong teman bermainnya, dibiarkan begitu saja oleh ibunya; anaknya juga suka bermain ludah, bahkan meludahi temannya, namun ibu dari anak tersebut juga cuek saja. Tampak sekali ia merasa bahwa anaknya tak melakukan kesalahan atau ketidakbaikan yang perlu dibenahi.

Sang ibu tersebut semakin kesal karena ternyata anaknya yang juga berusia dua tahun meniru perilaku buruk anak sang tetangga tersebut. Anaknya yang sebelumnya tidak pernah mendorong-dorong teman sepermainannya, menjadi suka mendorong-dorong, bahkan anaknya menjadi suka bermain ludah dan ikut-ikutan meludahi temannya. Sungguh, perilaku buruk dari anak tetangga tersebut telah ditiru sepenuhnya oleh anaknya. Terutama suka meludah sembarang tempat, bermain ludah, atau bahkan meludahi temannya, perilaku buruk ini sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh seorang ibu yang kesal tersebut akan dilakukan anaknya. Betapa sangat menjijikkan, katanya.

Peniru Terbaik

Kejadian seperti ini bukanlah sebuah kejadian yang langka. Bisa jadi di antara pembaca ada yang anaknya mengalami kejadian sebagaimana tersebut. Hal ini bisa terjadi karena sifat anak pada dasarnya adalah suka meniru atau melakukan imitasi. Anak adalah pribadi peniru terbaik. Dia akan meniru apa saja yang dilihatnya untuk dilakukan, terutama sesuatu yang baru baginya.

Berdasarkan kenyataan ini, setiap orangtua dapat memanfaatkan kemampuan istimewa dari anak-anaknya yang suka meniru untuk mencontohkan perilaku yang baik. Jangan sampai orangtua justru mencontohkan perilaku yang tidak baik. Hal ini sering tidak disadari oleh sebagian orangtua. Misalnya, orangtua menyuruh anaknya untuk belajar, namun orangtua malah menonton televisi di ruang tengah; atau orangtua menyuruh anaknya untuk berangkat ke masjid, tapi orangtua malah asyik membaca koran di ruang tamu. Sungguh, ini contoh tidak baik bagi sang anak. Semestinya ketika orangtua menyuruh belajar kepada sang anak, orangtua ikut menemani belajar atau setidaknya membuat suasana belajar nyaman dengan tidak menonton televisi. Demikian pula ketika orangtua mengharapkan anaknya rajin ke masjid semestinya orangtua mencontohkan dengan mengajak anaknya untuk bersama-sama pergi ke masjid.

Cara Menangani

Kembali kepada persoalan si ibu yang kesal karena anaknya meniru perilaku buruk dari anak tetangganya. Kasus seperti ini pun mungkin terjadi pada anak kita. Bagaimana cara menanganinya? Pada saat kejadian, sudah tentu hal penting yang harus ditunjukkan kepada anak kita adalah ekspresi ketidaksetujuan dari kita terhadap perilaku buruk tersebut. Ekspresi ketidaksetujuan ini penting agar anak kita mengetahui bahwa perbuatan yang sedang dilakukannya tersebut tidak baik. Untuk menghargai orangtua dari anak yang ditiru anak kita—yang barangkali mempunyai cara mendidik yang berbeda dengan kita—maka kita perlu mengeskpresikan ketidaksetujuan dengan cara yang wajar saja. Namun, apabila anak kita meniru perilaku buruk tersebut tidak hanya sekali, tetapi diulang-ulang pada kejadian tersebut, segera kita peluk anak kita untuk kemudian menjauh dari permainan tersebut.

Hal penting selanjutnya yang mesti kita lakukan adalah menyampaikan kepada anak kita dengan bahasa yang lembut bahwa perbuatan buruk tersebut tidak boleh dilakukan lagi.

“Adik…, besok tidak boleh mendorong-dorong temannya lagi. Kasihan kan dia didorong-dorong begitu. Apalagi meludahi teman. Apakah Adik mau didorong-dorong atau diludahi?”

Meskipun masih berusia dua tahun, anak sudah bisa diajak berkomunikasi sebagaimana di atas. Biasanya anak kita akan menjawab tidak mau atau menggelengkan kepala karena sifat dasar manusia adalah tidak mau bila disakiti atau dirugikan. Satu hal yang harus diingat bahwa dalam menyampaikan ini hendaknya tanpa dibarengi dengan rasa marah atau ancaman. Biarlah transfer nilai berjalan dengan baik sehingga masuk dalam kesadaran anak kita.

Dalam kesempatan transfer nilai, bisa juga disandarkan kepada Tuhan. Misalnya, “Adik ingin disayang Tuhan tidak? Kalau ingin disayang Tuhan, tidak boleh berbuat begitu lagi ya… karena Tuhan tidak suka kalau kita menyakiti teman kita.”

Ada kalanya seorang anak yang diperingatkan sekali saja sudah cukup. Namun, ada yang perlu berkali-kali. Di sinilah dibutuhkan kesabaran orangtua dalam mendampingi tumbuh dan berkembang anak-anaknya.

Salam dari Jogja,
Akhmad Muhaimin Azzet

4 Komentar

Filed under Keluarga

Pro-Kontra Guru yang Dekat dengan Anak Didik

Keterangan foto: Santri Rumah Tahfidz “Cinta Qur’an” bersama penulis dan Ust Alwi Fuadi.

Modal utama agar menjadi guru favorit atau disenangi oleh anak didik adalah dekat dengan mereka. Membangun kedekatan dengan anak didik ini bisa dilakukan dengan kedekatan secara lahir, namun yang tidak kalah pentingnya adalah juga membangun kedekatan secara batin.

Sebelum membahas tentang pentingnya membangun kedekatan dengan anak didik, perlu penulis mengangkat dulu masalah pro-kontra berkaitan dengan masalah ini. Ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa seorang guru tidak perlu membangun kedekatan dengan anak didiknya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga wibawa guru di hadapan murid-muridnya. Kedekatan seorang guru dengan anak didiknya, apalagi bila berlebihan, dianggap bisa merusak citra guru dan tidak mendidik.

Beberapa sikap dari murid-murid yang dikhawatirkan bisa terjadi bila seorang guru terlalu dekat dengan mereka adalah hilangnya rasa hormat seorang murid kepada gurunya. Murid yang demikian biasanya ketika bertemu dengan gurunya menyapa layaknya teman saja. Lebih ironis lagi, kedekatan guru dengan anak didiknya dikhawatirkan timbul jalinan asmara di antara mereka. Bila hal terakhir ini yang terjadi, sungguh merupakan aib yang luar biasa bagi dunia pendidikan.

Kedekatan seorang guru dengan anak didiknya dikhawatirkan juga dimanfaatkan oleh seorang guru untuk mengambil keuntungan dari kedekatannya. Misalnya, seorang guru meminta dibawakan makanan atau oleh-oleh dari murid-muridnya; seorang guru meminta bantuan murid-muridnya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesungguhnya adalah urusan pribadi sang guru.

Seorang guru yang mempunyai kedekatan dengan murid-muridnya dikhawatirkan pula akan tidak objektif dalam memberikan penilaian. Sungguh, bila hal ini sudah terjadi maka rusaklah segala tatanan dan proses belajar mengajar yang dilakukan di sekolah. Dengan demikian, guru tidak perlu membangun kedekatan dengan anak didiknya. Proses belajar mengajar diyakini tetap bisa berjalan dengan baik tanpa memerlukan kedekatan pribadi antara guru dan murid.

Di sisi lain, ada juga sebagian kalangan yang berpendapat bahwa kedekatan antara guru dan anak didiknya mutlak diperlukan. Hal ini dianggap penting karena proses belajar mengajar diyakini tidak akan berjalan dengan lancar dan berhasil secara maksimal tanpa adanya kedekatan antara yang mendidik dan yang dididik.

Diharapkan dengan adanya kedekatan ini maka anak didik dapat mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh gurunya dengan perasaan yang santai dan pikiran yang tenang. Lain bila guru dan murid tak ada jalinan hubungan kedekatan, biasanya proses belajar mengajar akan berjalan dengan ketegangan, dengan demikian pejaran yang mudah pun bisa menjadi sulit dicerna.

Kedekatan antara guru dan murid diperlukan agar murid dapat belajar dengan baik, terutama pada saat menghadapi materi yang sulit dimengerti, maka murid dapat bertanya tanpa sungkan kepada sang guru. Tidak adanya murid yang bertanya pada saat pelajaran berlangsung bukan selalu berarti semua murid sudah memahami pelajaran yang dimaksud. Bisa jadi mereka enggan untuk bertanya karena tidak adanya kedekatan dengan sang guru. Demikian pula dengan adanya masalah-masalah lain yang dihadapi oleh para siswa, dengan adanya kedekatan seorang guru dapat membantu masalah yang dihadapi oleh muridnya, sehingga proses belajar mengajar pun tetap dapat berjalan dengan lancar.

Menghadapi dua pendapat yang berbeda tersebut, penulis memilih bahwa kedekatan antara guru dan murid sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar. Akan tetapi, penulis juga tidak setuju dengan kedekatan yang menjurus kepada sikap yang “terlalu”. Ya, segala hal yang “terlalu” memang tidak baik. Kedekatan yang tidak “terlalu” adalah kedekatan yang sewajarnya berdasarkan tata nilai yang berlaku di masyarakat.

Salam dari Jogja,
Akhmad Muhaimin Azzet

6 Komentar

Filed under Guru

Betapa Penting Kecerdasan Sosial

Santri TPA Tahfidz Masjid Al-Muhtadin sedang menampilkan hafalan Qur’an di acara Milad Masjid Al-Muhtadin.

Kecerdasan intelektual memang sangat penting untuk terus dikembangkan. Namun, kecerdasan yang tidak kalah pentingnya adalah kecerdasan sosial. Sungguh, kecerdasan sosial ini sama sekali tidak boleh diabaikan. Sebab, kecenderungan masyarakat modern, yang satu sama lain sering bersitegang dengan waktu karena adanya target atau bahkan ambisi, persaingan yang sangat ketat di segala bidang, kebutuhan terhadap pemenuhan materi sekaligus gengsi yang semakin menguat, akan membuat kehangatan hubungan sosial semakin berkurang. Di sinilah pentingnya kecerdasan sosial pada anak untuk terus dikembangkan agar kelak anak-anak kita mampu hidup secara sosial dengan baik. Baca lebih lanjut

2 Komentar

Filed under Pendidikan

Menjadi Orangtua yang Bisa Membantu Anak yang Sedang Bermasalah

Penulis sewaktu mengisi acara di RRI Jogja.

Ada tiga prasyarat yang harus dipenuhi oleh setiap orangtua agar bisa membantu anaknya yang sedang bermasalah, yakni:

1. Bersikap Tenang

Orangtua yang panik atau malah kebingungan tidak akan bisa menyelesaikan masalah yang terjadi pada anaknya dengan baik. Kepanikan ini biasanya terjadi ketika sang orangtua tiba-tiba melihat sebuah kenyataan bahwa anaknya ternyata bermasalah. Sungguh, sang orangtua tidak menyangka sebelumnya akan ada kejadian yang tidak diinginkan menimpa anaknya. Di sinilah dibutuhkan ketenangan agar dapat mengurai masalah dengan baik dan mencari jalan keluarnya. Baca lebih lanjut

10 Komentar

Filed under Keluarga

Tugas dan Tanggung Jawab Guru

Penulis bersama santri Rumah Tahfidz Masjid Al-Muhtadin, Perum Purwomartani Baru.

Secara garis besar, tugas dan tanggung jawab seorang guru adalah mengembangkan kecerdasan yang ada dalam diri setiap anak didiknya. Kecerdasan ini harus dikembangkan agar anak didik dapat tumbuh dan besar menjadi manusia yang cerdas dan siap menghadapi segala tantangan di masa depan. Di antara kecerdasan yang perlu dikembangkan oleh seorang guru adalah sebagai berikut: Baca lebih lanjut

2 Komentar

Filed under Guru

Membangun Rasa Percaya Diri Anak

Penulis bersama santri TPA Tahfidz Masjid Al-Muhtadin, Perum Purwomartani Baru.

Dalam proses belajar mengajar di sekolah, anak didik harus dibangun agar mempunyai rasa percaya diri yang baik. Rasa percaya diri dapat dimunculkan dengan memberikan bantuan kepada anak didik untuk menemukan kelebihan atau potensi yang ia miliki.

Sungguh, setiap anak manusia mendapatkan anugerah dari Tuhan berupa kelebihan, potensi, atau kecerdasan yang sangat perlu untuk dikembangkan. Di sinilah dibutuhkan kedekatan, kejelian, dan kesabaran dari seorang guru untuk bisa menemukan sekaligus mengembangkan kelebihan atau potensi yang dimiliki oleh anak didiknya. Baca lebih lanjut

Tinggalkan komentar

Filed under Pendidikan