aku mencari serpihan manusiaku yang hilang
di antara tumpukan batu, betapa telah pecah
oleh panas matahari dan kota yang kian renta
pohon rindang tidak lagi tumbuh di tubuhku
apalagi hamparan rumput yang menghijau
dari ujung kaki hingga kepala hanyalah batu
lalu di manakah manusiaku, hilang ke mana
yang pernah lahir oleh kasih seorang ibu
kubongkar-bongkar, melulu tumpukan batu
Bumidamai, Yogyakarta.
wah filosofis banget..dalem maknanya..tapi aku masih susah mencerna maknanya… nice puisi
betapa kerasnya kita bila hati telah membatu, barangkali begitu ya mamanya Kinan, dan…. makasih banyak ya….
lho, kok puisi2nya masuk di blog ini pak ustadz,, ๐
terobosan baru dari pa’Ustadz…di 2012 rupanya ๐
Iya, Mas Mabruri, terkadang puisi memang sengaja saya masukkan ke blog ini, terutama masuk dalam “Filed under: Jiwa Merindu”
@Mas Budi: sebenarnya bukan terobosan baru kok Mas, tapi memang sengaja untuk beberapa puisi saya masukkan ke blog ini, ya… sebagai selingan, terutama yang masuk dalam “Filed under: Jiwa Merindu”
Saya suka pada puisinya. Bagus Pak. Aku kira tadinya “aku” itu adalah bumi. Hehehe..maklum terlalu banyak menggunakan otak kiri
Makasih banyak ya, hehehe…. tapi bisa juga kok, dalam arti bumi manusia…
batu-batu itu berdo’a minta hujan supaya lumut menyelimuti dan menghijaukan lagi batu-batu itu shingga menampakkan hidupnya manusia….[]
nah, itulah yang diharapkan Mas Budi, jangan sampai manusia kita hilang dan menjadi batu, menampaklah…. duhai manusia….
kata-kata yg penuh makna pak ustadz.
๐
dan semoga bermanfaat ya….
Batu itu akan melunak dengan istigfar dan tasbih ya Pak.
benar sekali, istighfar dan tasib itu melembutkan
makasih banyak nggih….
puisinya keren pak.. saya paham maksudnya, tapi susah untuk mengungkapkannya kembali.. hehe ๐
makasih banyak ya Mbak Dhe…, itu memang benar, tak semua kepahaman dpt diungkap kembali….
rangkaian kata katanya indah dan bermakna pak ๐
Makasih banyak ya Mbak Ely Meyer, dan semoga bermanfaat nggih….
penuh makna pasti, tapi saya masih samar2 apa sebenarnya yg coba Pak ustadz gambarkan lewat puisi tsb ๐
Begitu ya, Mbak Mila. Tapi, kalo boleh saya menyampaikan, sesungguhnya saya ingin menuliskan bahwa betapa tidak sedikit dari kita telah kehilangan kemanusiaan kita yang penuh kasih sayang, punya nurani, dan mengenal ketuhanan; kemanusiaan telah mengeras, menjadi batu yang tak punya nurani. Mari kita temukan kembali kemanusiaan kita.
batu, agar bisa jadi sesuatu yg berguna harus dipecahkan, dilumatkan, dicetak…
dan akhirnya jadi cetakan; pisau yang tajam, cobek untuk mengulek bumbu, untuk beton peyangga bangunan…
(komentarku sepertinya nggak nyambung, ya, Ustadz)
Betul sekali, Mbak Erwin, batu-batu itu harus dipecahkan agar berdaya guna dan lebih bermanfaat. Hmm…, komentarnya nyambung kok Mbak.
semoga kita bisa menggantikan tumpukan batu di hati dengan pohon yang rindang ya pak.. ๐
Nah, betapa indah dan segarnya jika batu-batu itu berganti pohon yang rindang…. Makasih banyak ya Mbak Amisha Syahidah.
mencari manusia diantara tumpukan hati yang membatu ๐
katanya zaman sekarang kita susah untuk mencari “manusia”………
benar sekali, betapa susah mencari “manusia”
maka, mari kita mulai mencari dalam diri kita sendiri
kemudian keluarga, saudara, juga sahabat semua…